Beranda » Di Ujung Perpisahan, Ada Doa yang Tak Pernah Usai
Yang paling menyentuh bukanlah tenda, bukan panggung, bukan seragam wisuda. Tapi pelukan sederhana antara santri dan orang tuanya, santri dengan para Asatidznya. Tangis yang tak butuh kata. Doa yang hanya terucap lirih, tapi mengguncang langit.

Setiap perpisahan selalu menyisakan dua hal: haru dan harapan. Seperti pagi itu di Pendopo Mbah H. Ahmad Kasum, tempat yang menjadi saksi bisu tangis bahagia para santri dan orang tua dalam Haflah Akhirussanah MA ke-4 dan SMK Al-Fathimiyah ke-13.

Bagi sebagian orang, ini mungkin hanya acara tahunan. Tapi bagi mereka yang hadir, ini adalah titik balik—momen di mana anak-anak bukan hanya lulus dari sekolah, tapi juga naik satu level dalam hidup. Mereka bukan lagi sekadar pelajar, tapi calon-calon pemimpin, pendakwah, pelaku perubahan.

Saya menyaksikan wajah-wajah yang dulu datang dengan malu-malu, kini berdiri tegak mengenakan Jas Hitam dan Kebaya Maroon. Wajah yang dulu mencari arah, kini bersiap melangkah membawa panji ilmu dan akhlak. Mereka bukan sekadar lulus dari pelajaran, tapi dari latihan kehidupan.

Yang paling menyentuh bukanlah tenda, bukan panggung, bukan seragam wisuda. Tapi pelukan sederhana antara santri dan orang tuanya. Tangis yang tak butuh kata. Doa yang hanya terucap lirih, tapi mengguncang langit.

Lalu ada guru-guru, berdiri di belakang panggung dengan mata berkaca-kaca. Mereka tak minta disebut pahlawan, tapi mereka adalah alasan kenapa anak-anak ini bisa sampai sejauh ini. Mereka menanam, menyiram, dan kini merelakan bunga-bunga itu mekar di tanah yang lebih luas.

Haflah ini mengajarkan kita satu hal penting: bahwa sebuah akhir bisa menjadi awal yang jauh lebih besar. Di balik peluk perpisahan, ada pelukan doa yang tak akan pernah usai. Di balik tangis haru, ada tawa masa depan yang sedang menunggu.

Dan ketika semua orang pulang, satu hal tetap tinggal di tempat itu: jejak-jejak perjuangan yang tidak akan hilang ditelan waktu. (*)

Tentang Penulis