
K.H. ADE FATAHILLAH
(Pimpinan Pondok Pesantren Al Hijaz, Klari)
Ketika wawancara dimulai, K.H. Ade Fatahillah menarik nafas dalam. Tak lama kemudian terlihat butiran air mata menetes di pelupuk mata bagian bawah dan pipi Beliau. Kiai Ade tampak sangat bersedih.
Pemimpin Redaksi Majalah Risalah Al-Fathimiyah, H. Bangga Heriyanto, S. Sos, dan Sekretaris Redaksi, Ummi Hj. Ade Sa’diyah Ahmad, S. Sos, berkesempatan mewawancarai KH Ade Fatahillah di Pondok Pesantren Al Hijaz, Desa Cimahi, Kec. Klari, Senin, 18 November 2024. Berikut petikannya:
Kapan mengenal Al Maghfurlah KH Zaenal Abidin Ahmad, dalam momen apa dan di mana? Mohon diceritakan
Mulai mengenal Al Maghfurlah, saat itu sekitar tahun 1997, sedang ramai persiapan Munas NU di Lombok, NTB. Dulu yang dipercaya bahtsul masail itu wakil rois (Alm.) KH Muhammad Zein. Saya bisa dibilang juru tulis Kiai Muhammad Zein, karena suka dimintai pendapat tentang suatu masalah yang akan dibahas, sekaligus menuliskan pendapat Beliau.
Nah, saya suka minta pendapat juga ke kiai yang lain, di antaranya Kiai Zaenal dan Kiai Nandang. Kita tahu Kiai Zaenal alumni Makkah dan Madinah, tentu referensi kitabnya banyak. Salah satu topik bahtsul masail di Lombok itu tentang hukum nikah mut’ah. Saya diskusi dengan Kiai Zaenal, “Kiai tolong cari referensi soal nikah mut’ah, barangkali ada pendapat lain yang menghalalkan karena mayoritas ulama mengharamkan.”
Kiai Zaenal pun menelusuri kitab-kitab dan sumber referensi lain yang Beliau ketahui. Tetapi Beliau tegas menyatakan, “Tidak ada referensi kehalalan nikah mut’ah, kecuali referensi kitab-kitab Syiah.” Dari situlah kemudian kami menjadi dekat, sering berdiskusi, sering menanyakan hukum-hukum fiqih dan lain-lain.
Mohon disebutkan dan diceritakan momen-momen yang dilalui bersama Beliau?
Sudah tak terhitung jumlahnya momen yang kami lalui bersama. Setiap berkegiatan di NU, kami selalu bersama-sama. Tukar pikiran, ide, dan gagasan. Terkadang juga di luar kegiatan NU.
Saya ingat jasa beliau, ketika anak kedua saya ingin studi ke Mesir, diurusi sama Beliau, di antarkan sampai ke Jakarta, ke bandara, diurus sampai selesai karena ikut senang ada orang yang mau menuntut ilmu.
Anak keempat dan kelima saya suka guyon dengan Beliau, sering ngobrol dengan Beliau, jadi semuanya masuk. Kiai Zaenal bisa nyambung dengan siapa saja. Beliau itu rendah hati, dalam hal keilmuan tidak sombong, padahal ilmunya lebih tinggi Beliau dibanding saya.
Adakah kenangan tersendiri bersama Beliau yang amat berkesan?
Al Maghfurlah adalah orang yang selalu berusaha datang tepat waktu jika menghadiri acara. Pernah suatu ketika ada acara di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Cilamaya. Harus datang jam sekian. Kiai Zaenal bawa mobilnya kencang sekali. Di dalam mobil di antaranya ada Kiai Nandang. Al Maghfurlah bawa mobilnya hit hit.. cepat sekali, agar tepat waktu sampai di tujuan. Dan alhamdulillah kami selamat sampai tujuan dan tepat waktu. Kami yang di dalam mobil dengan Kiai Nandang itu ketawa-ketawa. “Kiai Zaenal santai saja,” ujar saya. Tapi Al Maghfurlah cuma bilang, “Kita harus tepat waktu, Kiai.”
Pendapat tentang sosok Beliau?
Intinya Kiai Zaenal itu orang yang bertanggung jawab. Contohnya waktu umroh, ada jamaah yang sakit parah, dan waktu umrohnya sudah habis. Kiai Zaenal menganggap karena itu muridnya, jamaahnya, maka Beliau sampai rela menunggu sampai pulang. Padahal waktunya umroh sudah harus pulang. Beliau tanggung jawabnya tinggi.
Kelebihan Beliau kalau acara NU siap terus. Rela meninggalkan keluarga, rela meninggalkan pengajian. Tokoh lain mungkin bila dapat penugasan NU kadang beralasan, “Oh, saya ngga bisa, ada jadwal pengajian, ada jadwal ceramah lah.”
Secara finansial kalau mengajar ngaji atau ceramah biasanya ada syaiun-nya. Tapi Kiai Zaenal tidak memandang itu. “Kiai Zaenal ada acara nih di Bandung, siap Kiai, berangkat.” Beliau tidak mengenal lelah, itulah yang harus jadi uswatun hasanah, jadi perjuangan Beliau itu tidak mengenal lelah demi agama terutama demi NU.
Apa yang paling dirindukan dari sosok Beliau?
Secara pribadi Beliau itu sudah seperti kakak karena lebih tua beberapa tahun usianya dari saya. Sudah seperti saudara. Saya merasa sangat kehilangan. Kalau tidak ingat takdir, tidak ingat bahwa ini yang terbaik, rasanya berat sekali kehilangan Beliau. Tetapi, memang sudah waktunya, ya saya ikhlas.
Kita sering diskusi masalah NU jika ada kendala-kendala, atau masalah pengembangan agama, sering diskusi berdua. Beliau juga orang yang sangat bertanggung jawab. Contoh ketika menikahkan anaknya, itu kan ingin hadir secara langsung, tidak ingin diwakilkan, padahal ‘kan sedang sakit.
Pesan khusus untuk santri-santri Beliau?
Jadikan beliau sebagai uswah hasanah, contoh yang baik. Banyak yang dapat dijadikan hikmah dari sosok Beliau, terutama kesabarannya, kegigihannya, dan tidak pernah mengeluh apa-apa.
Saat sakit, kalau saya sedang menjenguk Beliau tidak pernah Beliau berkata aduh bagaimana ini Kiai Ade saya sakit ingin sembuh. Tidak, Beliau tidak pernah mengeluh sakitnya. Beliau malah cerita apa saja, ya politik lah, NU lah. Tidak pernah mengeluh, seperti orang yang tidak sakit. (*)

