Rembulan Terusik Karena Aku

Kau ada yang memanggil “kekasihku”, “cintaku”, “sahabatku”, “orang terdekatku”. Bahkan ada pula kata antonim yang kau dapatkan, seperti “si pilih kasih”, “si cuek, “tidak peduli sosial”, “si tuli, “si buta”, “si tidak merasa”, meraba apalagi mencinta.

Namun, kau bagiku tidak ada sebutan yang pantas aku sandarkan kepadamu, baik panggilan cinta atau antonim dari itu. Akan tetapi wahai engkau, wajib hukumnya kau dan semua makhluk mengetahui, bahwa tidak ada yang bisa menggantikanmu dalam kehidupanku.

Kau tahu mengapa?

Terlalu banyak bila kusebutkan satu per satu untuk mengungkapkan bahwa aku cinta padamu. Lalu anehnya, satu waktu kau mengelak, cemburu padaku, bahkan hampir meninggalkanku. Apa kau sadar?

Pada kata sebelumnya, kurenungi, kupikirkan, kupertimbangkan, dan kuperhatikan. Ternyata semua ini salah, termasuk aku yang salah.

Layaknya aku melihat permukaan air sebuah danau yang indah, tenang dan sejuk. Lalu kulemparkan batu sekira dua kilogram. Seketika hadir riak-riak air dan menimbulkan gelombang ombak beraturan.

Batu itu adalah aku. Mengusik semua ketenangan di dalamnya. Bahkan bulan di malam hari ketika melihatnya merasa terusik. Namun dia tetap menyinari gelap malam mencekam.

Di pertengahan malam ku berjalan pulang menuju peraduan. Dinaungi pepohonan jambu di area Masjid Al-Fathimiyah, tepatnya di samping SD IT. Kukantungi dua ponsel Android. Seketika aku berkata dalam hati, “Hei, kenapa kau tidak memanggilku.”

Pada heningnya malam. Ditemani hembusan angin dingin yang melewati sela-sela kain baju dan sarungku, menembus pori-pori kulitku, dan masuk ke dalam kulit jantungku.

Pukul 22:06 pesan Whatsapp masuk, “Assalamualaikum gimana kabarnya? Aa, tos maem teu acan?”

Apakah pesan di atas dari tuhan atau dari mahluknya? Pada akhirnya bulan mengintip ke layar ponselku, dan berkata, “Aku cemburu”.

Cerpen Karya: Ust. Abdul Said – Guru SMK Al-Fathimiyah