4 Desember 2024 18:39
Tidak ada yang mudah dari yang namanya berpisah dengan orang tua, dengan rumah, dengan suasana hangat yang sudah kita kenal lama.

Menjadi santri adalah pilihan. Dan setiap pilihan memiliki konsekuensi-konsekuensi yang harus dihadapi dan dijalani.

Jarang sekali ada cerita menjadi seorang santri itu enak, betapapun lengkap dan “mewahnya” fasilitas sebuah pesantren. Tetap saja ada banyak kisah santri tidak kerasan, mengeluh ini-itu, minta boyong dadakan, dan lain-lain.

Setelah menjalani masa hampir tiga tahun menjadi santri Tebuireng, pelan-pelan saya pahami kenapa cerita-cerita itu bisa terjadi. Setidaknya ini berdasarkan apa yang saya rasakan dan alami sendiri.

Saya flashback sebentar. Sebelum memutuskan mau mondok di mana, ayah dan ibu menyodorkan dua pilihan pondok pesantren: (1) pesantren A di Purwakarta, Jawa Barat; dan (2) pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur.

Pertimbangan pilihan pesantren A karena jaraknya terbilang dekat. Kurang lebih satu jam perjalanan dari rumah via tol. Juga, punya reputasi cukup baik, dan visi-misi serta tokoh-tokoh pengasuh cukup familiar di kalangan nahdliyyin Jawa Barat. Di pesantren A saya bahkan telah mengikuti ujian seleksi dan lulus.

Tapi kemudian saya mengikuti tes seleksi di Tebuireng, juga lulus.

Tebuireng menjadi salah satu opsi karena ayah adalah alumni Tebuireng. Ayah tentu khatam apa dan bagaimana pesantren Tebuireng. Meski kata ayah sudah banyak berubah.

Jarak rumah saya ke Tebuireng sekitar 700-an kilometer. Berkendara dengan mobil pribadi lewat tol transjawa selama sekitar 10 jam bila agak santai dengan beberapa kali istirahat dan kecepatan antara 80 sampai 100 kilometer per jam. Jika sedikit tergesa bisa sekitar 7 sampai 8 jam dengan laju kendaraan 100 sampai 140 kilometer per jam dan hanya satu-dua kali istirahat singkat.

Menuju Tebuireng juga bisa naik kereta api dan bus. Via kereta dengan titik pemberangkatan stasiun Cikarang dan titik tujuan stasiun Jombang ditempuh selama kurang lebih 12 jam. Itu terbilang cepat. Ayah bercerita dulu durasinya lebih panjang, sekitar 16 jam. Berangkat pukul satu siang tiba di Jombang pukul lima subuh. Naik bus durasinya kurang lebih sama.

Bersama K.H. Fahmi Amrullah Hadzik, Pengasuh Pondok Putri Tebuireng, Cucu Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari

Singkat cerita, akhirnya saya memilih Tebuireng.

Seperti telah disampaikan di awal tulisan ini bahwa setiap pilihan memiliki konsekuensi-konsekuensi yang harus dihadapi dan dijalani. Demikian pula dengan pilihan saya untuk mondok di Tebuireng, sebuah pesantren besar dan tua yang telah melahirkan banyak tokoh “besar” di negeri ini.

Tidak ada yang mudah dari yang namanya berpisah dengan orang tua, dengan rumah, dengan suasana hangat yang sudah kita kenal lama. Dengan segala kenyamanan rumah. Misalnya mandi tak perlu antre, makan dengan menu pilihan kita sendiri, tidur dengan tenang dan nyaman di kamar sendiri, bisa cerita dengan orang tua kapan saja secara langsung, tidak pernah ada perasaan sendirian, dan sebagainya.

Tiba-tiba saja semua kenyamanan itu beberapa di antaranya berkurang. Contoh kecil soal makan. Kita tak lagi kuasa memilih menu yang kita suka, meski bisa saja jajan di kantin tetapi tetap rasanya “asing”.

Makan harian santri Tebuireng disupply oleh lembaga bernama Jasa Boga (Jabo). Menunya cukup memenuhi standar rasa dan gizi dengan nuansa “kesederhanaan” ala santri.

Contoh lain soal perasaan “sendirian” yang muncul di saat-saat tertentu, misalnya di saat malam menjelang tidur, saat hujan deras, saat ada jadwal sambangan sementara kita tak disambang. Di momen-momen seperti itu perasaan “sendirian” kerap muncul, meski kita sedang berkumpul dengan rekan santri lain, bercengkerama dengan rekan sekamar, sekelas, atau seprogram.

Meski belum mampu menerima secara utuh, semua itu harus saya hadapai dan jalani sebagai sebuah konsekuensi pilihan. Pada awalnya terasa amat berat, terutama ketika membayangkan jauhnya jarak antara saya dengan orang tua dan segala kenyamanan rumah.

Soal makan saya telah cukup berkompromi. Hikmahnya, sekarang saya bisa lebih menerima beragam varian menu. Jika sebelum mondok saya hanya makan dengan menu lauk ayam, sekarang menu sayur, ikan, tempe pun tak lagi menjadi masalah. Contohnya nasi soto ayam yang dicampur, rawon, telur asin, sayur kangkung, dan sebagainya.

Ketika kesepian saya siasati dengan membaca, entah itu bacaan semisal novel atau buku-buku pelajaran. Dan aktif mengikuti berbagai kegiatan ekstra kurikuler (ekskul). Saya mengikuti ekskul drumband, fotografi, bahasa dan jurnalistik.

Satu hal lagi yang selalu saya tanamkan dalam hati, yakni saya mondok di sebuah pesantren besar dengan sejarah panjang yang berkaitan dengan Republik Indonesia (RI). Ini merupakan sebuah keistimewaan tersendiri. Saya tentu amat beruntung, maka sepatutnyalah saya bersyukur. Rasa syukur inilah yang membuat saya mampu bertahan, mampu menepis semua perasaan yang kadangkala membuat ragu.

Mondok di Tebuireng memiliki keistimewaan tersendiri. Di antaranya dapat menziarahi maqbarah para tokoh, mulai dari tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratussyaikh Mbah K.H. Hasyim Asy’ari, Mbah K.H. Abdul Wahid Hasyim, dan presiden ke-4 RI Mbah K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Setiap akhir pekan dan momen-momen tertentu, ribuan peziarah dari pelosok Indonesia mendatangi maqbarah keluarga Tebuireng. Area parkir Kawasan Makam Gus Dur (KMGD) selalu penuh dengan puluhan bus dan mobil pribadi dengan plat kendaraan bervariasi.

Itu semua yang selalu saya ingat-ingat, betapa beruntungnya saya. Tidak boleh ada waktu yang tersia-sia karena meratapi perasaan-perasaan “sedih” yang kerap muncul. Setiap detik harus disyukuri hingga saya mampu bertahan dan menuntaskan semua program pendidikan yang telah ditetapkan.

Hal yang sama sebetulnya dapat diterapkan oleh rekan santri lain tanpa melihat pesantren apa atau di mana.

Ketika galau mendatangimu karena sedih jauh dari rumah, ingatlah selalu bahwa kita sebagai santri adalah istimewa. Pelajar yang beruntung karena dapat menimba ilmu di tempat yang kesehariannya penuh dengan zikir, syukur, ibadah, dan taushiyah. Dibimbing oleh kiai, ustadz-ustadzah, dan guru yang lisannya senantiasa menyebut asma-Nya. Juga selalu berorientasi pada mencari dan mengamalkan ilmu.

Janji Allah untuk para penuntut ilmu adalah sebagaimana firman-Nya:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, “Berdirilah,” (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Mujadilah: 11)

Dan Rasulullah Saw. pun bersabda:

مَنْ خَرَجَ فِى طَلَبُ الْعِلْمِ فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ

Artinya : ”Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu maka ia berada di jalan Allah hingga ia pulang.” (HR. Turmudzi)

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الجَنَّة

Artinya : ”Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari suatu ilmu. Niscaya Allah memudahkannya ke jalan menuju surga.” (HR. Turmudzi)

Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawwab.

(Tebuireng, 5 Oktober 2024, menyambut Hari Santri Nasional 2024-Cecilia Rahmi Asbhy Puteri, Pondok Putri Tebuireng, Wisma Nyai Masruroh 102)

Opini Karya: Cecilia Rahmi Asbhy Puteri – Santri Pondok Putri Tebuireng, Jombang, Jawa Timur – Kelas IX SMP A Wahid Hasyim
Open chat
INFORMASI PENDAFTARAN
Assalamu'alaikum wr. wb...
Klik OPEN CHAT untuk Informasi PSB via Whatsapp