Kereta api termasuk salah satu alat transportasi yang sering digunakan oleh masyarakat. Sering kali saat dalam perjalanan dengan menggunakan kereta, para penumpang merasa bingung bahkan tidak tahu tentang cara melaksanakan shalat yang benar, sering kita lihat dalam kereta terdapat orang yang shalat dengan cara duduk dan menggerak-gerakkan tubuhnya sebagai pertanda perpindahan rukun shalat yang dilakukan.
Ada pula penumpang yang shalat sambil berdiri dengan menutup jalan para penumpang karena dalam kereta tidak meyediakan fasilitas untuk shalat, bahkan ada juga yang memilih untuk tidak melaksanakan shalat di kereta dengan niatan mengqadha shalat di rumah karena shalat di kereta dianggap terlalu ribet.
Sebenarnya bagaimana cara shalat yang benar ketika dalam keadaan di kereta?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, patut dipahami bahwa kewajiban shalat tidak gugur bagi seseorang selama akalnya masih normal, sehingga ketika ia dihadapkan pada keadaan yang tidak dapat menyempurnakan rukun, maka ia tetap wajib melaksanakan shalat semampunya dalam rangka li hurmatil waqti (shalat karena menghormati datangnya waktu shalat).
Salah satu ketentuan dalam pelaksanaan shalat li hurmatil waqti yaitu seseorang wajib untuk melaksanakan rukun dan syarat-syarat shalat yang mampu ia lakukan. Sedangkan untuk syarat atau rukun yang tidak mampu ia lakukan, syara’ memberikan toleransi hal ini karena sudah bukan termasuk hal yang dapat ia jangkau dan shalatnya wajib untuk diulang kembali (i’adah) dalam keadaan sempurna ketika telah sampai di rumah.
Dalam praktik shalat li hurmatil waqti di kereta api, ketika seseorang masih mungkin untuk melaksanakan shalat dengan wudhu, berdiri dan menutup aurat namun ia tidak dapat menghadap kiblat, maka wajib baginya untuk melaksanakan syarat dan rukun tersebut, sedangkan syarat berupa menghadap kiblat menjadi hal yang ditoleransi sehingga tidak perlu ia laksanakan.
Realitas yang sering terjadi di kereta, syarat yang paling sulit untuk dilakukan adalah menghadap kiblat, sebab lintasan kereta sering kali berkelok-kelok hingga menyebabkan orang yang awalnya shalat dengan menghadap kiblat, saat perjalanan arahnya menjadi berubah hingga ia tidak lagi menghadap arah kiblat.
Untuk rukun-rukun lain yang masih dapat dilakukan, wajib bagi para penumpang yang shalat untuk melaksanakannya, seperti berdiri, ruku’, sujud dan rukun lainnya.
Berdasarkan ketentuan di atas, diperbolehkan melaksanakan shalat di kereta dengan cara berdiri, justru cara seperti itulah yang paling dianjurkan selama memungkinkan untuk melakukan hal itu. Meskipun, berdiri di tempat yang berpeluang dilewati oleh orang lain adalah hal yang makruh. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam Kitab Al-Fiqhu ala Mazahibil Arba’ah:
يكره للمصّلي أن يصلي في مكان يكون فيه عرضة لمرور أحد بين يديه، سواء مر أحد بين يديه أو لم يمر
Artinya, “Makruh melaksanakan shalat di tempat yang berpeluang dilewati orang lain di depannya, baik kenyataannya ada orang yang lewat atau tidak,” (Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Al-fiqhu ala Madzahibil Arba’ah, juz I, halaman 246).
Dengan begitu, orang yang shalat di kereta dengan duduk dan menggerak-gerakkan tubuhnya adalah hal yang tidak benar jika ia masih bisa melaksanakan shalat dengan cara berdiri. Kecuali ketika shalat fardhu dengan cara duduk ini, ruku’ dan sujudnya dilaksanakan dengan sempurna, maka cara demikian dianggap benar menurut Mazhab Hanafi, namun praktik demikian jarang sekali kita temukan.
Lalu bagaimana dengan orang yang memilih untuk tidak melaksanakan shalat di kereta dan memilih untuk mangqadha’ shalatnya di rumah karena dipandang sulit?
Langkah demikian tetap dibenarkan menurut salah satu pendapat dalam Mazhab Syafi’i seperti yang ditegaskan dalam Hasyiyah Ibnu Qasim ‘alal Ghuraril Bahiyah:
وَنَقَلَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْغَزَالِيُّ أَنَّ لِلشَّافِعِيِّ قَوْلًا أَنَّ كُلَّ صَلَاةٍ تَفْتَقِرُ إلَى الْقَضَاءِ لَا يَجِبُ فِعْلُهَا فِي الْوَقْتِ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ
Artinya, “Imam Haramain dan Imam Ghazali menukil bahwa dalam Mazhab Syafi’i terdapat pendapat bahwa sesungguhnya setiap shalat yang butuh (bisa) untuk di-qadha’ tidak wajib melaksanakannya pada waktunya. Pendapat ini juģa merupakan pendapat yang diutarakan Imam Abu Hanifah,” (Lihat Ibnu Qasim, Hasyiyah Ibnu Qasim ‘alal Ghuraril Bahiyah, juz I, halaman 207).
Hal yang bijak bagi para penumpang adalah menjama’ shalatnya jika memang masih mungkin untuk menjama’ shalatnya baik berupa jama’ taqdim dengan cara shalat terlebih dahulu sebelum berangkat, atau jama’ ta’khir yaitu ketika sampai di kota tujuan masih memungkinkan melaksanakan shalat.
Sedangkan ketika shalat yang dilaksanakan tidak dapat di jamak’, maka lebih baik bagi para penumpang untuk mengikuti pendapat yang dinukil dari Imam Haramaian dan Al-Ghazali yaitu tidak melaksanakan shalat li hurmatil waqti di kereta dan memilih mengqadha’ shalatnya ketika sampai di tempat tujuan.
Pemilihan langkah ini dikarenakan melaksanakan shalat di kereta sesuai dengan ketentuan shalat li hurmatil waqti selain dipandang sulit, juga dianggap mengganggu aktivitas penumpang lain seperti terhambatnya jalan ketika ada orang lain hendak lewat dan berbagai hambatan-hambatan yang lainnya sehingga sangat tidak elok untuk dilakukan. Wallahu a’lam. (Ali Zainal Abidin)
: Alhafiz Kurniawan
Editor: Mahbib Khoiron
Disadur dari NU Online
Sumber: https://www.nu.or.id/amp/syariah/tata-cara-shalat-di-kereta-api-peHxs