Seperti biasa di hari Senin, semua santriwan dan santriwati kelas 10, 11 dan 12 melakukan upacara bendera merah-putih. Termasuk Tono yang kini sudah lengkap dengan atribut sekolahnya dan bersiap baris di barisan kelas 10 putra.
Beberapa menit kemudian terdengar peringatan bahwa akan ada pengecekan atribut dari microphone. Santri-santri yang atributnya tak lengkap nampak gelisah dan bingung. Alasannya sudah pasaran. Kalau tidak lupa, ya pasti ketinggalan. Lebih parah jika salah satu atributnya hilang. Santri itu pasti akan dipaksa untuk membelinya lagi. Berbanding terbalik dengan Tono yang terlihat santai dan malah bersiap untuk diperiksa.
“Tono! Mana pecimu?!” tegur ustadzah Rini, guru killer di sekolah ini.
Tono terlihat kebingungan karena ia memang memakai topi dari sebelum sampai ke sekolah. Apakah topinya ghoib di mata bu Rini?
”Loh, saya pakai peci kok ustadzah, ini…” Tono memegang atas kepalanya. Berniat menunjukkan pecinya pada ustadzah Rini. Namun ia tak merasakan keberadaan pecinya di sana. Kini ia terlihat gelagapan dan kebingungan seperti santri lain yang atributnya memang tak lengkap.
”Jangan bohong ya, Tono! Ayo cepat ke tengah lapangan sekarang!” tegas ustadzah Rini sambil menunjuk ke arah tengah lapangan. Di sana sudah ada sebagian santri yang berbaris karena melanggar.
Tono semakin gusar lalu menoleh ke belakang. Terlihat Fajri yang santai karena atributnya lengkap. Aneh, karena Fajri biasanya tak pernah lengkap soal atribut apalagi peci. Ia langganan ditegur ustadz pondok sejak pertama kali masuk pondok dan sekolah ini.
“Hei, Fajri! Tumben sekali kau pakai peci. Pasti itu punyaku ya?” tuduh Tono seenaknya.
Fajri mendelik, menatap tak suka ke arah Tono. ”Enak saja, memang kenapa kalau aku pakai peci atau tidak? Kau tak boleh su’uzhon padaku seenaknya.”
“Lihat, terdapat coretan tip-ex di sana. Berarti itu punyaku!” ucap Tono lalu mengambil peci yang dikenakan Fajri. Tak peduli Fajri marah, yang penting ia bisa memakai miliknya lagi.
“Heh kembalikan Tono. Memangnya cuma kamu saja yang mencoret pecimu dengan tip-ex?” seloroh Fajri kesal. Tapi Tono tak memedulikan Fajri yang mengoceh sambil berusaha meraih topi yang ada di atas kepalanya.
“Cukup! Hentikan pertengkaran kalian. Fajri cepat kau baris di tengah lapangan. Tak ada tapi-tapi, bukankah kau sudah biasa baris di depan sana?” titah ustadzah Rini.
Akhirnya Fajri yang tadinya ingin membantah kini menurut. Takut guru killer itu semakin mengamuk. Ia pun maju ke depan dengan bantuan dorongan tongkat legendaris ustadzah Rini.
Tono pun senang karena dirinya tak jadi dihukum. Itu salah Fajri sendiri karena berani mengambil barang miliknya dan berakhir dihukum. Itu memang sudah seharusnya.
Selepas upacara semua santri masuk ke kelasnya masing-masing termasuk Tono yang masuk ke kelasnya.
Jam pertama dimulai dengan Pelajaran Bahasa Arab. Seperti biasa guru menerangkan lalu memberikan tugas. Ketika baru mengerjakan tugas, tiba-tiba Tono ingin pergi ke toilet cepat-cepat, lalu meminta izin dan di izinkan oleh guru mapelnya.
Sepulangnya dari toilet, Tono berniat mengerjakan kembali tugasnya yang sempat tertunda tadi. Namun saat hendak Kembali menulis ia tersadar bahwa pulpen yang sebelumnya ia pakai tak ada di mejanya.
“Hei Fajri!” panggil Tono setelah sekian lama mengedarkan pandangannya. Sedangkan yang dipanggil tak acuh, masih kesal dengan Tono sewaktu upacara tadi.
Karena Fajri tak menyahut Tono pun menghampirinya. ”Heh jika kupanggil nyahut, dong!” tegur Tono kesal. Namun Fajri memilih cuek dan terus melanjutkan mengerjakan tugasnya.
“Wah, kau punya pulpen baru ya?” tanya Tono basa-basi.
“Memangnya kenapa jika ini baru?” jawab Fajri.
“Tuh kan pasti itu baru kau pungut dari mejaku ya?” lagi, Tono Kembali menuduh Fajri. Tanpa aba-aba Tono mengambil paksa pulpen yang dipakai Fajri.
“BRAKK!” Fajri mengebrak mejanya karena kepalang emosi dengan sikap Tono.
“Terserah kau saja, Ton! Aku muak dengan sikapmu yang selalu menuduh orang tanpa bukti. Pulpen ini baru kubeli tadi di koperasi. Memangnya kau saja yang punya pulpen ini?”
Fajri meledakkan amarahnya pada Tono. NamunTono hanya menganggap Fajri berpura-pura dan berdrama.
“Halah, maling mana yang mau ngaku?”cerocos Tono.
“Terserah kau, Ton! Yang penting bukan aku pelakunya. Pulpennya aku ikhlaskan untukmu,” ucap Fajri berusaha sabar.
“Memang ini punyaku” Tono menjulurkan lidahnya lalu Kembali ke mejanya.
Keesokannya…
Kelas Tono hari ini jam kosong. Waktu itu dipergunakan santriwan untuk mengobrol, tidur, membaca buku di perpustakaan, bahkan ke kantin untuk mengisi perut mereka. Berbeda dengan Tono yang hanya sibuk sendiri di mejanya, tidak ada kerjaan karena tak ada teman yang mau mengajaknya.
“Kau Tidak menjenguk Fajri, Ton?” tegur Alen, salah satu teman sekelasnya.
“Jadi dia sakit? Pantas aku tak melihatnya dari tadi dan untuk apa aku menjenguk maling?” ucap Tono ketus.
“Kau tak boleh bicara begitu. Fajri tak seperti itu. Jangan kau asal tuduh tanpa bukti. Sebaiknya kau meminta maaf pada Fajri dan mengembalikan barangnya!”
“Enak saja. Untuk apa aku meminta maaf dan menyerahkan barang yang jelas-jelas adalah milikku,” Tono membela dirinya.
Alen menghela nafas, ”Sudah kubilang jangan kau asal tuduh. Dari awal kau tidak berubah ya Tono? Ya sudahlah, aku pergi dulu.” Alen meninggalkan Tono. Tak ada habisnya memang jika berbicara dengan orang berkepala batu.
Tono menenggelamkan kepalanya, berniat untuk tidur. Namun Ketika kakinya bersenandung gerak di bawah meja, kakinya tak sengaja menyentuh benda berbentuk panjang berukuran kecil seperti pulpen.
Cepat-cepat Tono melongok ke bawah mejanya lalu mengambil benda itu. Ia menelisik benda itu lekat-lekat sebelum akhirnya merogoh tas untuk mencari benda yang sama seperti yang ada di genggamannya. “Deg!”
Benar. Ternyata Fajri tak mengambil pulpennya. Rasa bersalah mulai mengerubungi benaknya. Tapi ia tepis jauh-jauh rasa itu. Ia berpikir itu adalah hal yang biasa dan akan ia kembalikan pada Fajri.
Beberapa menit kemudian ustadz yang mengajar masuk kelas. Dan kembali memberikan tugas sebelum pamit izin untuk keperluan mendadak. Tono yang tadinya tenang-tenang saja mengerjakan tugas kini terlihat gusar karena tulisannya ada yang salah dan saat mencari tip-ex malah tak ada di mejanya.
Tono melirik Arya teman sebangkunya. Ternyata tip-ex miliknya berda di mejanya. ”Heh, Arya lain kali jika ingin meminjam tip-ex beritahu aku dulu. Aku tak suka barangku dipinjam tanpa izin!” bentak Tono.
“Jangan su’uzhon dulu. Aku tidak meminjamnya. Walau tip-exnya berada di mejaku bukan berarti aku yang meminjamnya. Kita bisa saja keliru” ucap Arya hati-hati takut Tono salah paham.
”Ya itu benar. Hanya perkara tip-ex, kau bisa ikhlaskan,” ucap Budi tiba-tiba. Budi menghampiri mereka. ”Aku yang meminta tip-exmu tanpa izin. Maaf, karena aku sedang terburu-buru.”
“Oh, jadi kau?“ Tono tak jadi melanjutkan perkataannya ketika Budi menyodorkan peci yang terdapat tip-ex di sana. Itu miliknya! Berarti yang diucapkan Fajri waktu itu benar. Ia semakin merasa bersalah karena ia yang membuat Fajri terkena hukuman tempo hari. Padahal hari itu Fajri memang tak bersalah. Benar, Ia keliru. Langsung menyangka itu peci dirinya karena biasanya Fajri tak jarang bahkan hampir tak pernah memakai peci.
“Aku menemukannya di halaman depan asrama. Makanya jangan terburu-buru, tanpa sadar pecimu jatuh, kan?”
“Sebaiknya kau cepat-cepat meminta maaf pada Fajri. Dan sebaiknya kau hilangkan kebiasaan menuduh orang tanpa bukti karena itu dosa. Seperti dalil yang berbunyi ‘Barangsiapa yang menuduh seorang muslim dengan tuduhan yang tidak benar, maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka hingga ia dapat membuktikan tuduhannya’ (HR. Bukhari dan Muslim). Naudzubillahi min dzalik,” ujar Budi menasehati.
Sedangkan Tono hanya bergeming. Memikirkan kata demi kata yang diucapkan Budi padanya. Jika dipikirkan banyak sekali dosanya pada orang-orang, termasuk Fajri. Sikapnya yang selalu menuduh orang. Ia berjanji akan meghilangkan sikap itu. Ia akan bertobat kepada Allah dan mentaati perintah-Nya. Tapi sebelum itu ia ingin cepat-cepat menemui Fajri di asrama untuk meminta maaf. Tak lupa juga dengan Arya yang barusan ia tuduh. Pantas saja ia tak memiliki teman, ternyata ini yang membuatnya dijauhi. (*)
Cerpen Karya: Anisa Agustin – Santriwati Pesantren Al-Fathimiyah – SMK kelas X-1 |