
Dalam hidup saya, pengalaman mencukur rambut hingga tak bersisa alias plontos baru dua kali.
Pertama, saat mengikuti ospek di MA Daruttafsir, Bogor, di mana seluruh peserta diwajibkan plontos. Mau tak mau, meskipun berat, saya pun memangkas habis “mahkota” yang sejak lama saya rawat dan jaga. 😊
Pengalaman kedua saat berhaji tahun 2015 lalu. Ketika semua tahapan puncak ibadah haji seperti mabit, wukuf, dan lontar jumroh di Armina selesai, saya bertahallul tsani, atau tahallul kedua/akhir.
Pengertian tahallul adalah terlepas atau terbebasnya seseorang dari hal-hal yang dilarang selama dalam keadaaan ihram. Ihram sendiri artinya niat memulai ibadah haji atau umroh.

Jadi, ketika niat haji/umroh sudah dilafadzkan pada waktu dan tempat tertentu, otomatis pada dirinya melekat status ihram. Beberapa hal dilarang, seperti memakai pakaian berjahit, wangi-wangian, memakai tutup kepala.
Semua larangan itu kembali menjadi halal setelah bertahallul atau memotong rambut sedikitnya tiga helai sebagai tanda semua tahapan ibadah haji atau umrah telah dirampungkan.
Tahallul tsani saya dibantu oleh pembimbing kloter Bpk. H. Dadang Hamidi. Setelah beliau menggunting beberapa helai rambut saya, di dini hari waktu Makkah itu saya lihat di deretan toko distrik Aziziyah yang tak jauh dengan area jamaraat (area lontar jumroh), ada barbershop yang cukup ramai.

Awalnya hanya ingin merapikan sisa guntingan Pak Haji Dadang. Tapi beliau menyarankan agar diplontos seluruhnya karena bernilai sunnah.
Saya pun merasa momen dini hari itu amat berharga. Pengalaman ibadah yang melibatkan semua indera, baik lahir maupun batin. Pengalaman yang menggetarkan sisi spiritual, mendayakan semua energi, patutlah diabadikan sebagai sebuah titik balik (turning point) bagi diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Simbolnya dengan mencukur habis rambut.
Tanpa ragu saya mengikuti saran Pak Haji Dadang Hamidi yang saat ini menjabat Sekretaris ICMI Karawang masa bakti 2017-2022.
Masuklah saya ke barbershop itu. Tampaknya para petugas potong rambut sudah mafhum bahwa jamaah yang ke barbershop hanya menginginkan dua hal: potong pendek setengah centi meter, atau plontos habis.
Salah seorang pegawai memberi kode dengan ibu jari dan telunjuk yang didekatkan sebagai tanda potong tipis; dan kode mengibaskan telapak tangan sebagai tanda cukur habis alias plontos. Saya hanya bilang, “kullun”. Ia pun paham apa yang saya inginkan.
Saya terhenyak kaget ketika prosesnya dimulai. Lazimnya di Indonesia kalau hendak digundul, rambut ditipiskan dahulu dengan gunting atau alat pencukur. Tapi di Aziziyah, Mekkah, ini sangat berbeda.
Tak ada gunting, tak ada alat cukur. Sang petugas hanya menggunakan pisau cukur disposable atau sekali pakai.

Jadi, untuk memlontoskan rambut, menurut petugas itu memang kelaziman di Aziziyah, Mekkah, selama pisau cukur yang digunakan baru dan tajam. Dan memang beliau memperlihatkan kepada saya saat pisau cukur dilepaskan dari kemasannya. Setelah selesai pun saya diminta mememastikan pisau tak digunakan kembali.
Penggunaan pisau cukur juga mungkin karena alasan kecepatan, mengingat jumlah jamaah haji yang ingin diplontos juga tidak sedikit. Tak sampai lima menit proses itu selesai.
Dan syukurnya semua berjalan lancar. Tak berdarah-darah seperti dugaan saya, hanya lecet-lecet sedikit 😏. Untuk biaya sedikit lebih mahal dari rata-rata barbershop Indonesia, yakni 10 SAR (Saudi Arabian Riyal). Dengan kurs waktu itu 1 SAR = 3.500-an rupiah, maka biayanya sekitar 35 ribu rupiah. Tak lupa saya tambahkan tip 2 SAR.
Jadilah saya plontos untuk yang kedua kali. Mudah-mudahan mampu menunaikan lagi ibadah haji, dan saya bernazar akan plontos untuk yang ketiga kali. Aamiin. (*)

