
Dalam Acara Tasyakuran Kelulusan Santri Kelas IX MTs Al-Fathimiyah Tahun 1446 H/ 2025 H
“Syukur dengan Hati Ikhlas dan Anggota Badan yang Taat”
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Alhamdulillāhi rabbil ‘ālamīn, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kita nikmat demi nikmat, hingga pada hari ini kita bisa berkumpul dalam suasana tasyakuran atas kelulusan anak-anak kita, para santri kelas IX MTs Al-Fathimiyah, dalam keadaan sehat, bahagia, dan penuh harapan.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, uswah hasanah kita dalam ilmu, adab, dan syukur kepada Allah SWT.
Hadirin yang dimuliakan Allah,
Pada kesempatan yang penuh berkah ini, izinkan saya menyampaikan satu hal yang sangat penting dan menjadi inti dari acara ini: syukur.
Anak-anakku yang saya cintai,
Kelulusan ini adalah anugerah. Tapi jangan kita terjebak dalam euforia. Justru di sinilah ujian sejati dimulai: apakah kita mampu menjaga amanah ilmu ini? Apakah kita mampu menjadikan ilmu yang didapat sebagai bekal kebaikan, bukan sekadar kebanggaan?Dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
“Lā yazūlu qadamu ‘abdin yawmal qiyāmah ḥattā yus’ala ‘an ‘ilmihi fīmā fa‘ala bihi.”
“Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ditanya… tentang ilmunya, untuk apa ia gunakan.”Maka, bersyukurlah dengan rasa ikhlas. Bukan hanya dengan ucapan, tapi juga dengan sikap. Tunjukkan rasa syukur itu dengan melanjutkan perjuangan. Tetap rendah hati. Tetap berakhlak. Jangan pernah merasa selesai belajar. Karena santri sejati adalah mereka yang ilmunya makin tinggi, tapi tawadhu’-nya makin dalam.
Syukur adalah akhlak mulia, dan menjadi kunci bertambahnya nikmat. Allah SWT berfirman dalam surah Ibrahim ayat 7:
“La’in syakartum la-azīdannakum.”
“Jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepada kalian.”
Namun, syukur bukan hanya ucapan di lisan. Syukur sejati harus dimulai dari hati yang ikhlas. Kita menerima semua nikmat dari Allah, baik besar maupun kecil, dengan perasaan ridha, tanpa keluh kesah, tanpa membandingkan nasib dengan orang lain. Itulah pondasi syukur: hati yang bersih dan pasrah.
Tapi tidak cukup di hati. Syukur juga harus dibuktikan dengan anggota badan, yakni dengan ketaatan kita kepada Allah SWT.
Kalau kita benar-benar bersyukur, maka:
- Lisan kita tidak akan digunakan untuk berkata kotor, tapi untuk dzikir dan ilmu.
- Mata kita tidak akan digunakan untuk melihat hal yang haram, tapi untuk membaca ayat-ayat Allah.
- Telinga kita tidak akan dipakai mendengar ghibah, tapi untuk mendengar nasihat.
- Langkah kaki kita akan menuju majelis ilmu, bukan tempat maksiat.
- Dan seluruh tubuh ini akan kita gunakan untuk taat kepada Allah SWT.
Inilah makna syukur yang kami tanamkan di pesantren ini: syukur yang lahir dari hati yang ikhlas, dan diwujudkan dalam perbuatan yang taat.

Anak-anakku yang ku cintai,
Kelulusan ini bukan akhir, tapi awal dari perjalanan baru. Maka, teruslah bersyukur. Jangan lupa salat. Jaga akhlak. Hormati orang tua dan guru. Gunakan ilmu yang kalian bawa dari pesantren ini untuk menjadi cahaya, bukan hanya bagi diri sendiri, tapi bagi lingkungan dan umat.
Semoga kalian menjadi santri yang syākirīn—hamba yang bersyukur dengan hati dan amal. Dan semoga Allah menambah nikmat kalian, dunia dan akhirat. Āmīn Yā Rabbal ‘Ālamīn.
Terima kasih kepada para asatidz dan wali santri atas segala doa, dukungan, dan keikhlasannya selama ini. Semoga menjadi amal jariyah yang tidak pernah terputus. (*)
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

